Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial..
……
(Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945)
/1
Sejak tanggal 1 Januari lalu, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
resmi berlaku. Program JKN ini diselenggarakan oleh sebuah badan
bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pemerintah mengklaim, pada tahap pertama, BPJS kesehatan akan
memberikan layanan kesehatan kepada 121 juta peserta atau setara dengan
48 persen jumlah penduduk Indonesia. Lantaran itu, SBY pun menepuk dada
dengan mengatakan, “ini merupakan lompatan besar yang dilakukan negara
kita sejak Indonesia merdeka.”
Benarkah demikian? Ada sesat pikir dalam sistem JKN ini.
Pertama,
sistem ini mengalihkan tanggung-jawab negara dalam pemenuhan kesehatan
rakyat menjadi tanggung jawab individu. Indikasinya pun jelas:
pembayaran premi untuk mendapat layanan kesehatan.
Kedua, sistem ini mengadopsi pendekatan diskriminatif.
Misalnya, ada pembedaan antara peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan
peserta non-PBI. Sistem ini juga mengenal pembagi kelas dalam pemberian
layanan: klas III, II, dan I. Bila pekerja ingin mendapatkan layanan
kesehatan di kelas III, besaran iuran Rp 25.000, kelas II Rp 42.500 dan
kelas I Rp 59.000 per bulan.
Ketiga, sistem ini hanya memobilisasi dana dari rakyat, yang
jumlah mencapai ratusan triliun rupiah, untuk diinvestasikan. Artinya,
ini hanya strategi dari rezim neoliberal untuk menarik dana dari rakyat
untuk kepentingan akumulasi kapital.
Jadi jelas, sistem JKN ini bertolak belakang dengan konstitusi kita.
Di dalam konstitusi kita ditegaskan, bahwa kesehatan adalah hak dasar
rakyat yang wajib diberikan oleh negara. Artinya, setiap warga negara
Indonesia, baik kaya maupun miskin, tidak boleh dirintangi haknya
mendapatkan layanan kesehatan berkualitas hanya karena faktor biaya.
Di belahan dunia lain, tepatnya di Amerika Latin sana, sejumlah
negara berhasil menjalankan revolusi di dunia kesehatan. Sebut saja:
Kuba, Venezuela, dan Ekuador. Di ketiga negara berhaluan kiri itu,
kesehatan dinyatakan sebagai hak dasar rakyat yang wajib dijamin oleh
negara.
/2
Di Kuba, begitu revolusi dimenangkan tahun 1959, kesehatan menjadi
prioritas kunci pemerintah. Anggaran negara dimobilisasi untuk
menyediakan akses kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Pemerintah Kuba
mengangkat panji-panji “kesehatan buat semua”.
Konstitusi Kuba tegas mengamanatkan: ‘setiap orang memiliki hak untuk
diperhatikan dan dilindungi kesehatannya. Negara menjamin hak ini:
melalui penyediaan rumah sakit dan layanan kesehatan gratis… melalui
penyediaan pemeriksaan gigi gratis; melalui pembangunan layanan
kebersihan; pendidikan kesehatan, uji pemeriksaan kesehatan secara
periodik, vaksinasi umum, dan tindakan-tindakan pencegahan medis
lainnya.’
Karena itu, sejak revolusi hingga sekarang, anggaran kesehatan Kuba
tidak pernah di bawah 10% dari anggaran nasionalnya. Bahkan, pada tahun
2010, pemerintah Kuba menganggar 14,5% untuk memastikan seluruh
rakyatnya bisa berobat gratis. Bandingkan dengan Indonesia: sejak tahun
2003 hingga 2013, anggaran kesehatan hanya rata-rata 2% dari APBN.
Jadinya, di Kuba, sebagai realisasi dari perintah konstitusi, setiap
warga negara Kuba–tanpa melihat latar-belakang ekonominya (kaya-miskin),
jabatan, ataupun warna kulit–berhak dan bebas mengakses layanan
kesehatan berkualitas tanpa dipungut biaya.
Alhasil, berkat konsistensi negara terhadap konstitusinya, peranan
pemerintah dalam layanan kesehatan berhasil menjangkau 99% penduduknya.
Sistem kesehatannya pun sangat revolusioner. Para dokter tinggal di
komunitas yang dilayaninya. Jadi, bukan rakyat yang mendatangi dokter,
tapi dokter ada di tengah-tengah rakyat.
Tak hanya itu, sistem kesehatan Kuba didukung oleh dokter-dokter yang
punya dedikasi kepada rakyat. Sebelum revolusi, Kuba hanya punya 6.286
dokter. Itupun, ketika terjadi revolusi, sebanyak 3000-an dokter memilih
keluar dan bekerja di AS. Alhasil, Kuba mengalami krisis tenaga dokter.
Tetapi pemerintahan revolusioner tidak menyerah. Pemerintah kemudian
menggelontorkan dana untuk membangun sekolah-sekolah kedokteran dan
siapapun bisa mendaftar tanpa dipungut biaya sepeser pun. Alhasil,
anak-anak dari keluarga miskin pun bisa mengakses pendidikan kedokteran.
Dan sebagai konsekuensinya, ilmu kedokteran dan profesi dokter bukanlah
lagi sesuatu yang ekslusif.
Hari ini, Kuba punya 24 Sekolah Kedokteran di 13 Provinsi di
Kuba–semasa rezim Batista Kuba hanya punya 1 sekolah Kedokteran. Selain
itu, Kuba punya 43 professor kedokteran untuk mengajar di
sekolah-sekolah tersebut. Sejak 1959, sudah 109.000 dokter yang
dihasilkan Kuba. Alhasil, Kuba punya rasio dokter dibanding jumlah
penduduk merupakan tertinggi di dunia: 1 dokter melayani 148 orang.
Bandingkan dengan AS: satu dokter melayani 480 orang.
Inilah yang membuat derajat kesehatan Kuba terbaik di dunia. Angka
Harapan Hidup orang Kuba meningkat pesat: dari 58.8 tahun sebelum
revolusi (1959) menjadi 78 tahun sekarang ini. Angka kematian bayi di
Kuba termasuk terendah di dunia: 4,9 per 1000 kelahiran.
/3
Venezuela punya sumber daya alam yang melimpah. Terutama minyak dan
gas bumi. Di masa kekuasaan rezim neoliberal, kekayaan minyak dan gas
Venezuela mengalir ke luar negeri melalui korporasi asing. Cecerannya
hanya dinikmati segelintir elit Venezuela.
Saat itu, kendati minyak dan gas Venezuela mendatangkan keuntungan
berlimpah, tetapi mayoritas rakyatnya tidak bisa mengakses kebutuhan
dasarnya. Termasuk layanan kesehatan. Layanan kesehatan sangat mahal,
diskriminatif, dan beriorientasi profit.
Sebelum Chavez menang, anggaran kesehatan selalu di bawah 2% dari
PDB. Saat itu, jumlah rakyat Venezuela yang bisa mengakses layanan
kesehatan dasar hanya 21,5%. Tak hanya itu, ada 21% penduduk Venezuela
yang kekurangan gizi. Privatisasi kesehatan di Venezuela menyuburkan
layanan kesehatan yang sekedar mencari laba. Kesehatan hanya bisa
diakses dengan kartu kredit dan asuransi. Klinik dan rumah sakit swasta
menjamur. Tentunya dengan biaya selangit. Sedangkan rumah sakit umum,
yang tarifnya lebih murah, kebanjiran pengunjung.
Begitu Chavez berkuasa, revolusi pun menjangkau sektor kesehatan.
Melalui konstitusi yang disahkan tahun 1999, kesehatan dinyatakan
sebagai hak dasar rakyat yang wajib dipenuhi negara. Lalu, seiring
dengan mandat konstitusi, Chavez mendeklarasikan “sistem kesehatan
baru”, yang dimaksudkan untuk mendemokratiskan layanan kesehatan dan
menjadikan kesehatan sebagai hak rakyat paling fundamental.
Pada tahun 2000, Chavez lansung meluncurkan proyek Bolivar 2000,
dengan dukungan militer, yang memberikan layanan kesehatan bagi mereka
yang paling membutuhkan. Program ini diprioritaskan untuk mereka yang
selama bertahun-tahun menunggu operasi tapi tidak pernah ada uang dan
kesempatan yang diberikan oleh negara.
Pada tahun 2003, Chavez meluncurkan program Barrio Adentro I, yakni
pembukaan klinik-klinik kesehatan di komunitas. Klinik-klinik ini
memberikan layanan kesehatan kepada rakyat di setiap perkampungan
(barrio) tanpa dipungut biaya. Kemudian, pada tahun 2005, Chavez
meluncurkan misi Barrio Adentro II, yakni pembangunan klinik kesehatan
yang disebut “Pusat Diagnosa Komprehensif (CDI)”, yang dilengkapi
teknologi, dokter spesialis, dan lain-lain.
Sebelum Chavez berkuasa, Venezula butuh empat dekade untuk membangun
5,081 klinik kesehatan. Di era Chavez, 13 tahun revolusi Bolivarian
berhasil membangun 13,721 klinik kesehatan. Pembukaan klinik-klinik
kesehatan gratis itu membuat mayoritas rakyat Venezuela bisa mengakses
layanan kesehatan berkualitas. Tahun 1997, hanya 21% rakyat Venezuela
yang mengakses layanan kesehatan dasar. Pada tahun 2007, hanya 8 tahun
setelah Revolusi, sebanyak 95% rakyat Venezuela bisa mengakses layanan
kesehatan.
Layanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah ini juga
berkualitas dan memuaskan rakyat. Survei dari Institut Statistik
Nasional (INE) menyebutkan, sebanyak 81.8% menggunakan sistem kesehatan
publik. Survei juga menyebutkan, sebanyak 93.5% rakyat Venezuela pernah
menggunakan layanan Barrio Adentro.
Selain misi Barrio Adentro, sejak tahun 2004 lalu, Venezuela juga meluncurkan misi
Miracle
yang memberikan pengobatan gratis kepada 1,5 juta rakyat Venezuela yang
menderita penyakit katarak atau penyakit mata lainnya. Pada tahun 2008,
Chavez juga punya misi sosial untuk para penyandang cacat. Pada tahun
2010, Venezuela juga meluncurkan “Smile Mission”, yang memberikan
layanan gratis untuk kesehatan gigi rakyat.
Tak hanya itu, untuk mencetak tenaga dokter, Chavez membuka
pintu-pintu Universitas selebar-lebarnya agar rakyat bisa belajar ilmu
kedokteran. Ini dicapai melalui mission Sucre, yang memberikan
kesempatan pemuda-pemuda untuk belajar di Universitas dengan biaya
gratis. Kemudian, melalui Medicina Integral Comunitaria (MIC) alias
Universitas Tanpa Tembok, pemerintah menyelenggarakan kursus kesehatan
gratis, yang menyeimbangkan antara teori dan praktek, di semua klinik
Barrio Adentro. Melalui program ini, anak-anak muda dan rakyat biasa di
sekitar klinik diajari sistim pengobatan komprehensif berbasis komunits.
Dengan program itu, Venezuela mencetak tenaga dokter revolusioner,
yang siap bekerja layaknya petugas sosial dimanapun. Saat ini, rasio
dokter di Venezuela meningkat dari 20 orang dokter per 100.000 penduduk
pada 1999 menjadi 80 orang dokter per 100,000 penduduk pada 2010, atau
meningkat hingga 400 persen.
/4
Sekarang kita menjenguk sistem kesehatan di Ekuador.
Sebelum Rafael Correa, seorang ekonom progressif, berkuasa di tahun
2007, sistem kesehatan Ekuador babak belur akibat neoliberalisme.
Neoliberalisme bekerja dalam tiga pilar: pemberlakuan fleksibilitas
tenaga kerja kesehatan, privatisasi layanan kesehatan, dan outsourcing
pemberian layanan kesehatan.
Tahun 2008, setahun setelah Correa berkuasa, konstitusi baru
disetujui. Konstitusi baru ini menuntut reformasi radikal terhadap
sistem kesehatan Ekuador yang neoliberal. Pasal 32 konstitusi baru itu
menegaskan, “kesehatan adalah hak yang dijamin oleh negara dan
pemenuhannya terkait dengan pemenuhan hak yang lain, seperti hak atas
air, pangan, pendidikan, olahraga, pekerjaan, jaminan sosial, kesehatan
lingkungan dan segala hal yang mempromosikan kesejahteraan.”
Yang menarik, konstitusi Ekuador tidak memisahkan persoalan pemenuhan
hak kesehatan rakyat dengan hak-hak dasar lainnya. Artinya, hak atas
kesehatan tidak hanya dimaknai bahwa rakyat harus sehat, tetapi juga
sebagai bagian integral untuk mensejahterakan rakyat.
Selain itu, konstitusi Ekuador juga menjelaskan, “kesehatan sebagai
layanan publik harus disediakan oleh negara, swasta, lembaga otonom,
komunitas serta orang-orang yang punya keahlian dalam pengobatan
alternatif dan leluhur.” Artinya, sistem pengobatan tradisional maupun
alternatif diakui sebagai bagian dari layanan kesehatan publik. Dengan
menegaskan kesehatan sebagai layanan publik, konstitusi Ekuador telah
berhasil membebaskan layanan kesehatan dari dekapan kekuatan pasar.
Sebagai bentuk pelaksanaan terhadap perintah konstitusi, pemerintahan
Rafael Correa telah menggelontorkan dana besar. Sejak berkuasa 6 tahun
lalu, investasi publik untuk layanan kesehatan mencapai 9 milyar USD.
Sebelumnya, empat periode rezim kanan berkuasa hanya mengeluarkan 2,6
milyar USD untuk anggaran kesehatan. Sebagian besar anggaran jatuh untuk
pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur rumah sakit di seantero
Ekuador.
Pada tahun 2006, pemerintah baru sanggup melayani 12 juta perawatan
medis. Pada tahun 2012, angkanya sudah mencapai 40 juta. Kemudian, ada
116 ribu konsultasi kesehatan per harinya di sistem kesehatan publik
Ekuador. Kendati demikian, sistem kesehatan publik Ekuador baru
mengcakup 51% dari total penduduknya.
Untuk menopang layanan kesehatan publik, ada 140 rumah sakit publik
yang sudah disiapkan. 22 rumah sakit baru sedang dalam pembangunan dan
24 rumah sakit lama sedang direnovasi. Semua itu diciptakan untuk
melayani 15 juta penduduk Ekuador.
Untuk menciptakan tenaga dokter, pemerintah menyediakan beasiswa
besar-besaran bagi mereka yang ingin menempuh pendidikan kedokteran. Tak
hanya itu, pemerintah Ekuador punya program bernama “
Ecuador Saludable, Vuelvo por ti (Ekuador Sehat, Aku Kembali Untukmu) untuk memanggil pulang dokter-dokter dan tenaga ahli Ekuador yang bekerja di luar negeri.
/5
Kalau kita lihat, tiga negara Amerika Latin itu harus merombak
konstitusi untuk mengembalikan kesehatan sebagai hak rakyat. Sedangkan
di Indonesia, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, konstitusi kita sudah
menggariskan kesehatan sebagai hak rakyat.
Hanya saja, karena mental
komprador di kalangan elit kita,
perintah konstitusi terus diabaikan. Malahan, rezim komprador ini
membuat aturan baru yang sama sekali berlawanan dengan konstitusi.
Contohnya: UU SJSN dan UU BPJS.
Yang kedua, basis bagi ketiga negara itu untuk menjalankan layanan
kesehatan gratis kepada rakyatnya beragam. Kuba, misalnya, mengandalkan
sumber daya ekonomi dan mobilisasi rakyatnya. Sedangkan Venezuela dan
Ekuador sangat bergantung pada keuntungan dari pengelolaan sumber daya
alam, khususnya minyak dan gas.
Nah, ada masalah dengan Indonesia. Keuntungan dari penerimaan pajak,
terutama dari rakyat, lebih banyak dipakai untuk membiayai birokrasi.
Sementara keuntungan dari pengelolaan SDA tidak pernah dinikmati oleh
rakyat karena mengalir keluar melalui kantong korporasi asing.
Pertanyaannya kemudian, relakah kita merogoh kantong kita untuk
membayar layanan kesehatan yang notabene hak dasar kita? Bukankah kita
sudah membayar beragam pajak untuk menambah pundi-pundi negara. Kalau
toh sekarang layanan kesehatan harus kita bayar, terus dikemanakan uang
pajak dan keuntungan dari pengelolaan kekayaan alam bangsa kita?
Ulfa Ilyas